Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, saya sudah
punya niatan HS sejak 1.5 tahun lalu yaitu awal 2019, tetapi akan dimulai nanti ketika
FiQi lulus SD karena saya dan anak2 yang waktu itu belum siap.
Tidak
ada yang menduga, pandemi 2020 membuat rutinitas semua orang berbalik
drastis, termasuk salah 1nya adalah urusan sekolah. Saya waktu itu
berfikir: oh oke sekalian latihan ber HS saja. Namun ketika school at
home berjalan, saya sungguh tidak nyaman karena sekolah hanya memberi
tugas2 saja. Saya sangat tidak nyaman harus bolak balik buka WA grup menyimak apa2 saja yg diminta guru. FiQi Ayna sebenarnya nurut sih kalau
diminta mengerjakan tugas walau Ayna kadang terlambat mengerjakan. Tapi
asliiiiii, saya yg tdk nyaman begini. Fix, school at home memang tidak ada masalah buat anak² saya, tapi masalah buat emaknya, yaitu saya,
entah lah kalau ortu lain. Saya sebenarnya tidak begitu keberatan
mengijinkan anak2 pakai HP sendiri dan bergabung di grup kelas dan lalu
secara mandiri mengurus tugas2 sekolahnya, tapi saya pikir kalau
belajarnya begitu2 doank, saya kurang sreg, ditambah lagi karena otak
saya sebelum²nya sudah keracunan emak2 HS hahahaha. Racun yang baik yah
tapinya. Otak saya sudah deschooling sejak lama.
Dan selama
pandemi ini, saya menemukan acara2 online yang mendiskusikan tentang
school at home vs homeschooling. Saya sangat tertarik dengan pembahasan2
semacam ini dan saya menyimak di sela2 waktu WFH, atau pas weekend.
Banyak acara yg gratis, tapi yang bayar pun juga ada yg saya ikuti.
Ditambah lagi saya jadi banyak menyimak kajian2 muslim keluarga yang
mana akibat pandemi ini, kita harus mengambil banyak hikmah "apa sih
yang kita kejar dalam hidup ini?mari kembali ke fitrah manusia"
eaaaaaaaa beradd beud bahasamu mbiaaaakkk. Saya juga mengikuti workshop online Fitrah Based Education yang dimotori oleh Ustd Harry selama 10 hari, dan merasa terseok-seok mengikutinya serta mengerjakan tugasnya, berasa ketinggalan jauhhhh dari sesama peserta. Tapi tidak apa lah, at lest saya jadi mengenal metode Fitrah Based ini.
Beruntungnya
lagi dari sejak pandemi sampai sekarang, ada acara2 online yg FiQi Ayna
ikuti, salah satunya kelas reporter cilik. Banyak banget ilmu dan
pengalaman yg didapat. Mulai dari ilmu komunikasinya dan juga
pengalaman menginterview langsung beberapa public figur dari artis,
sutradara, dan juga dutabesar RI. Dan senangnya lagi, acaranya gratis.
Horeeeeee.
Berangkat
dari hal tersebut, pertengahan bulan Juni 2020 menjelang terima raport,
akhirnya saya setting ulang: mau HS tahun ini atau tetap tahun depan
nunggu lulus SD ya? Kalau HS tahun depan, brarti mau ngga mau, saya
masih harus meneruskan kegiatan school at home, padahal saya sudah tidak
WFH lagi. Akhirnya saya tawarkan ke anak²: "mau HS sekarang apa
enggak?"
Yang pertama
setuju langsung HS adalah Ayna, anakku yg kecil ini memang kurang
menyukai aktivitasnya selama sekolah kecuali jam istirahat dan jam
kosong. FiQi minta waktu 2 hari buat pikir² karena masih belum rela
berpisah dari teman²nya. Saya sampaikan ke FiQi, "sama saja kok kak, kan
masih pandemi, tahun ajaran baru juga masih belajar di rumah, kalau pun
masuk sekolah, cuma belajar saja, ngga ada ekskul. Jam istirahat juga
ngga sebebas kemarin, toh kalau nanti corona sudah pergi, kamu masih
bisa ketemu teman2 lagi, cuma beda lokasi belajar saja, main mah tetep
bisa". Pak Husband (PH) sempat agak ragu dan mengembalikan ke saya lagi:
"kamu sanggup?karena kalau anak2 HS, effortmu akan lebih tinggi lho
yank. Kalau nanti ngga sesuai harapan dan kamu jadi lebih snewen
ngadepin anak², kita semua serumah ngga akan happy". Yoi, PH ngga
salah. Saya kalau snewen, bisa menjadi gunung berapi, hahahaha.
Setelah
diskusi berhari², akhirnya kami berempat mantab menjalankan HS tahun
ini dengan mengambil segala resiko. Baiklah Saudara-saudaraku sekalian, itu lah new normal versi kami, walau mungkin menurut orang lain
adalah abnormal hahahhaha.
Dan lalu saya
mengikuti seminar online tentang legalitas HS dan lalu saya menanyakan
"kalau anak saya saat ini naik kelas 5 dan 6 , dan saya berniat tetap
ingin memiliki ijazah kejar paket A apakah bisa ikut ujian paket tepat
waktu atau harus mengulang lagi dari kelas 1 atau kelas 4?" Jawabannya adalah tidak
perlu mengulang karena nilai raport di sekolah formal yang sudah
dimasukkan ke Dapodik, nanti akan dilanjutkan oleh PKBM di mana anak
saya bernaung.
Jawaban ini lah yang memantabkan saya untuk berHS mulai tahun ini, tidak perlu menunggu lulus SD.
Saya langsung mencari PKBM. Ada 4 PKBM yang saya survei lewat telpon. Dan akhirnya menjatuhkan pilihan pada salah 1 PKBM di Kecamatan Tambun Selatan.
Apa itu PKBM?
Singkatan dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. Adalah lembaga resmi yang terdaftar pada Dinas Pendidikan di suatu kota/kabupaten yang dapat menyelenggarakan pembelajaran serta mengeluarkan ijazah kesetaraan. Paket A B C = Setara SD SMP SMA. Jadi jika ada warga negara yang tidak melanjutkan pendidikan ke sekolah formal, maka diperbolehkan melanjutkan belakar di PKBM agar mendapat ijazah kesetaraan. PKBM ini awalnya mewadahi warga negara putus sekolah, namun seiring berjalannya waktu, Kementerian Pendidikan mulai memperhatikan anak2 yang orang tuanya memilih jalur homeschooling agar dapat memiliki ijazah, melalui PKBM. Di PKBM, pelajarannya tetap menggunakan kurikulum yang secara sekilas tidak berbeda jauh dengan sekolah formal. Dan modul belajrnya juga resmi dari Diknas serta bisa didownload secara gratis. Ingat ya sodara-sodara, GRATIS DI SINI . Jadi, jangan ada yang bilang kalau HS itu MAHAL. Karena murah dan mahalnya HS itu kembali lagi pada pilihan-pilihan yang akan dilakukan selama HS itu. Tidak ada keseragaman HS antara 1 keluarga dengan keluarga yg lainnya. Sama halnya sekolah. PKBM ada yg negeri dan yang swasta. Yang swasta juga harganya bervariasi. Oiya pertimbangan saya memilih PKBM tersebut adalah:
- Akreditasinya sudah A
- Harganya bersahabat di kantong
- Belajarnya tidak harus hadir ke lokasi, alias bisa belajar mandiri di rumah ---namanya juga HS hehehe
- Saya sreg dengan penjelasan dari kepala sekolahnya yg saya hubungi via telp.
- Lokasi tidak terlalu jauh dari rumah (wajib hadir saat ujian akhir)
Yang lebih murah ada, yang lebih mahal juga ada . Bahkan ada yg menawarkan kepada saya tidak perlu ribet2 ngurus surat keluar dari sekolah. Awalnya saya tergiur. Alhamdulillah sebelum menjatuhkan pilihan PKBM, ada seminar gratis tentang Legalitas Home Schooling, yg sebenarnya proses pemidahan sekolah formal ke non formal itu sederhana. Allah benar benar Maha Baik.
Btw, dasar pertimbangan mencari PKBM ini, antar 1 keluarga dengan kelaurga lain, tentu tidak bisa disamakan ya, guys. Ada kok yg rela membayar mahal dan memilih PKBM yg bahkan belum terakreditasi dan lokasinya jauh dari rumahnya, karena PKBM tsb menawarkan kelebihan pengenalan dan pengawalan Bakat dan Minat anak serta penyusunan portofolio. Apakah masalah? ya tentu tidak donk ya hehehe karena pilihan itu ada di masing-masing. Hanya saja, jangan mudah tergiur iklan-iklan PKBM atau lembaga belajar yang membawa brand brand Homeschooling. Jangan dikira bahwa HS itu harus bergabung ke suatu lembaga yang mengatasnamakan HS lalu anak-anak akan belajar di sana seminggu 2-3 kali saja dengan jadwal yang sudah diatur oleh lembaga. Jangaaaaannnn...jangan langsung tergiur yak. HS itu bukan seperti ituhhhh. HS itu lentur, bisa belajar apa saja, di mana saja, gurunya siapa saja. Tidak harus dengan tutor tertentu, tidak harus orang tua sebagai gurunya, bebas saja. Kendali HS itu ada di orang tuanya. Perihal mau ikut bimbel atau tidak, mau ikut komunitas atau tidak, mau les ini les itu, itu adalah pilihan dan tidak harus. bahkan mau ikut PKBM atau tidak, itu juga pilihan. Ketika memutuskan ikut PKBM dan lalu mau memilih mau ujian kelulusan kapan (apakah tahun ini agar sesuai dengan umurnya, atau mau 1-2 tahun lagi dikarenakan tahun ini akan fokus dulu menggeluti suatu bidang tertentu, itu juga boleh-boleh saja). Hanya saja, ketika sudah memutuskan tidak bergabung ke PKBM, itu artinya kita tidak boleh menuntut kepemilikan ijazah kesetaraan. Ada kah HS yg begitu? banyaaaakkkkk, dan itu sah-sah saja, walau agak disayangkan karena NIK nya tidak terdaftar di satuan pendidikan mana pun alhasil ikut menyumbang angka warga negara yang putus sekolah ---> wkwkwkwk ini masalah penting ngga penting aja sih.
Jadi, please stop jangan tanya lagi ke saya : anak-anak HS nya di mana? Berapa biayanya?
Ingat ya HS itu bukan lembaga. PKBM itu bukan HS, namun PKBM bisa menjadi mitra HS jika kita membutuhkan ijazah kesetaraan untuk anak kita yang HS. Jadi kalau sering mendengar lembaga HS Kak ini, HS Kak itu, HS ini, HS itu, sebenarnya itu adalah PKBM ya, yg menurut saya hanya dikemas seperti bimbel namun nanti bisa mengeluarkan ijazah kesetaraan, bukan ijazah SD SMP SMA. Beberapa praktisi menyebut bahwa lembaga tersebut adalah semacam Flexi School. Bukan Homeschooling seperti yag sebenarnya. Namun demikian, jika memang kita berniat tidak memasukkan anak kita ke sekolah formal dan lalu lebih tertarik bergabung di lembaga semacam itu, tidak masalah , selama kita tau plus minusnya dan pastikan sudah menjajaki apa itu HS. Jangan sampai kita memilih tanpa pertimbangan dan lalu menyesal kemudian entah karena kemahalan atau tidak sesuai ekspektasi.
Apakah penting Akreditasi? Saya pun kurang paham nantinya terpakai apa tidak. Dari 4 PKBM yang saya survei, hanya PKBM xxxx ini saja yang Akrditasinya A. Tapi bukan faktor itu saja yg membuat saya memilih. Kembali lagi ke pilihan, ada orang tua yg tidak mempermasalahkan akreditasi, bahkan ada yg mantap memutuskan tanpa bergabung di PKBM dan akan menjalani pendidikan dengan kurikulum kelaurganya sendiri 100%.
Karena Fiqi naik kelas 6 dan Ayna naik kelas 5, ini yg saya lakukan terkait dokumen resminya:
- Saya datang ke sekolah, menemui staf TU dan menyampaikan mau keluar dari sekolah (sebelumnya sudah telpon)
- Saya mengisi formulir pindah sekolah, alasan pindah: akan menjalani pendidikan keluarga (Home schooling) dan mendaftar ke PKBM
- Formulir diterima, dan Sekolah akan menerbitkan surat pindah sekolah yg akan ditandatangani oleh Kepsek
- Saya pulang ke rumah karena kepala sekolah sedang tidak di tempat, esok lusanya saya diinfokan kalau formulir pindah sekolah sudah ditandatangani oleh Kepsek. Ketika saya mengambil surat keluar yg sudah ditandatangani kepsek, saya memastikan ke staf TU sekolah apakah NISN anak saya sudah dikeluarkan dari Dapodik Sekolah. Hal ini harus dipastikan ya, karena NISN anak kita ketika pindah ke PKBM, tidak berubah, dan tidak bisa terdaftar di 2 tempat. Porses ini juga berlaku untuk siswa yg pindah ke sekolah formal lainnya.
- Saya datang ke PKBM membawa kelengkapan dokumen: surat keluar sekolah, KK, foto, Akta kelahiran dll dan membayar biaya pendaftaran.
- Tidak ada masalah dengan raport di kelas sebelumnya karena anak saya sekolah formal yg nilai raportnya sudah diinput oleh sekolah lama ke dalam sistem Dapodik, sehingga nanti PKBM tinggal meneruskan nilai raport semester baru.
- Saya tinggal menunggu kabar dari PKBM apakah NISN anak saya sudah diinput ke dalam Dapodik, dan selanjutnya menunggu proses verifikasi dan validasi dari Diknas bahwa FiQi bisa mengikuti ujian akhir di tahun 2021 nanti dan Ayna 2022.
- Menunggu info di awal tahun ajaran baru 2020/2021 mengenai pembelajaran yang akan berlangsung, yang sebenarnya bisa belajar mandiri namun PKBM tetap mendampingi, memberikan tugas serta menginput raport ke dalam sistem, sebagai bentuk tanggungjawabnya mengawal program pemerintah dalam hal pendidikan.
Apakah ribet? Menurut saya tidak. Saya hanya berusaha mengikut prosedur yang legal agar anak saya tetap memperoleh ijazah. Ijazah yang dikeluarkan oleh PKBM ini legal, bisa digunakan mendaftar sekolah lagi ke jenjang selanjutnya jika suatu saat anak-anak ingin kembali sekolah formal dan juga bisa dipakai mendaftar kuliah jika anak-anak nantinya memutuskan untuk kuliah.
Alasan awal saya HS bisa dibaca DI SINI
Alasan awal saya HS bisa dibaca DI SINI
Ayu
6 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar