Kamis, 21 November 2019

Ijazah Homeschooling


Sejak saya kepikiran menerapkan homeschooling (HS) untuk anak-anak saya nanti mulai SMP, sejak itu lah saya sedikit demi sedikit kenalkan pada FiQi Ayna apa itu HS, bagaimana HS, kenapa mimi tertarik HS, dll. Apakah anaknya langsung menerima? oh tentu saja tidak karena pastinya hal tersebut sangat lah asing pada saat itu. Sampai pada akhirnya FiQi yang waktu itu masih kelas 4 (sekarang kelas 5) bisa lumayan menerima maksud dan tujuan kenapa harus HS, dan dia mulai tertarik, dan lalu ketika hal tersebut dibicarakan ke teman-temannya dan tentu saja tanggapan teman2nya beragam. Ada yang malah tanya balik apa itu HS dan juga ada pula yang bilang kalau nanti HS bakal ketinggalan pelajaran. Dan hal itu disampaikan oleh FiQi ke saya, lalu saya pun berusaha meluruskan dan akhirnya dia mengerti. 

Lalu beberapa hari lalu FiQi bertanya kepada saya "mimi, aku kalo homskuling, nanti aku juga dapat ijazah kan ya?"
"dapat kak"
"ijazahnya sama aja kayak temen2 aku yg sekolah?"
"enggak, kakak ikut ujian kejar paket, kalau lulus ya dapat ijazah"
"lah, aku ijazahnya kejar paket?nggak mau ah. Mimi, aku ngga mau homeschooling"
.....di sini lah saya  mulai dapat perlawanan baru dan lalu saya tanyakan kembali ada masalah apa kalau misal yang dimiliki adalah  ijazah kejar paket?

"mi, kata Bu Nilda (guru kelas) kan pernah cerita. Kalau ada anak yang ngga naik kelas, trus ujian sekolah juga ngga lulus karena nilainya jelek, dia harus ngulang lagi, nah trus kalau ngga lulus lagi sampai 3 kali, dia harus keluar dari sekolah. Dia bisa ikut ujian kejar paket biar dapat ijazah"
"iya kak, trus kenapa?"
"kalau aku ujian kejar paket, berarti aku ujiannya bareng sama anak-anak bodoh donk mi, aku ngga mau homeschooling kalo kayak gitu"

.....hmmmm ini anak kelas 5 kenapa sudah masalahin ijazah ya?hahahaha...
baik lah saya harus memahami. Lah jangankan anak kelas 5 SD, lha kita kita yang sudah seumur segini saja pasti banyak yang belum kenal Homeschooling , apalagi image ijazah kejar paket itu adalah khusus untuk anak-anak putus sekolah. Sama halnya yang ada di benak saya kemarin kemarin wkwkwkw. 

Ini lah jawaban saya ke FiQi
"kak, kalau kakak ujian bareng sama anak bodoh, memangnya kakak langsung jadi bodoh? trus kalau misalnya ada anak-anak homeschooling lainnya yang ikut ujian kejar paket , trus anak itu pinter, apa kakak langsung jadi pinter meski ngga belajar?  atau misal kakak ujian bareng artis , apa kakak juga langsung jadi artis? pintar bodoh itu ya tergantung kita masing-masing"

dan saat itu FiQi pun juga tidak langsung menerima penjelasan saya. saya pun lanjutkan

"kak, mau nanti kakak punya ijazah apa pun, selama kakak punya keahlian, punya jiwa yang dewasa, kakak bisa bermanfaat, ijazah itu sudah tidak penting lagi" ....tapi setelah kupikir2, penjelasan ini masih terlalu absurd untuk anak kelas 5 SD. Nanti lah pelan-pelan akan saya arahkan lagi. 
**********
Jadi, Saudara-saudara sebenarnya saya ini orang tua yang berusaha untuk menjaga mindset pada prinsip : belajar itu tidak penting berapa nilai sekolahmu, cukup lah kalian bertanggung jawab atas kewajiban2 kalian di sekolah, itu sudah cukup untukku. 
Nah, makin ke sini, makin ngga pentingin lagi  anak harus belajar di sekolah favorit, atau masuk universitas ternama. Saya hanya ingin fokus ke pengembangan kepribadian, agama, keterampilan khusus dan skill2 pendukung lainnya yang sebenarnya bisa dimiliki tanpa harus sekolah formal. 


Dan makin ke sini sini lagi, khususnya setelah berusaha mencari-cari info tentang HS, baru tau kalau  ortu homeschooler itu ada lho yang sama sekali ngga perlu ijazah buat anaknya kelak. Itu namanya UNSCHOOLING.  Anak-anaknya cukup dididik dan didampingi dengan baik, tetap  belajar namun tanpa acuan kurikulum sekolah sama sekali, setiap hari terjun di kehidupan nyata seperti melakukan pekerjaan rumah dan juga bersosialisasi dengan anak-anak sebaya atau orang dewasa  di lingkungan tempat tinggal, dan untuk anak-anak yang sudah remaja juga dilibatkan di bisnis orang tuanya (ini kalau ortunya punya bisnis sendiri), atau dicarikan tempat magang serta tidak lupa diikutkan ke program-program pelatihan hardskill  dan softskill yang di zaman sekarang banyak sekali dan mudah kita dapatkan informasinya mulai dari yang gratis sampai yang mahal. Dan yang pasti: mereka tidak mendaftarkan anaknya ujian kejar paket dan tidak mendaftarkan anaknya kuliah di perguruan tinggi. Saya pun takjub sekali. Ini anti mainstream kalau bagi saya. Apakah di Indonesia ada yang begini? ada kok dan jumlahnya lumayan banyak serta semakin banyak. 
Saya takjub kalau baca blognya mbak Sarah. Beliau ini punya 2 putri seumuran anak saya. Keduanya tidak sekolah di sekolah formal. Mbak Sarah ini exportir kerajinan yang kerjanya keliling dunia untuk exhibition. Anak-anaknya sering ikut ibunya. Mereka juga belajar akademis matematika, sains dll setau saya tidak pakai kurikulum, jadi kalau ditanya anaknya kelas berapa, dijawabnya 'ngga pakai kelas' , beda dengan HS pada umumnya yg masih mengandalkan kurikulum sekolah. Trus, mana yang lebih bagus? Ya bagus semua, termasuk sekolah formal pun bagus-bagus saja, pesantren pun juga bagus selama orang tuanya tau plus minusnya dari masing-masing tersebut. Ye kan? Semua kembali pada tujuan hidup masing-masing. Dan semua pilihan ada plus minusnya. 

Trus bagaimana kalau yang mau tetap punya ijazah? ya harus ikut ujian. Ujiannya juga tidak bisa di sekolah formal. Harus medaftar  di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dan ikut ujian kesetaraan. Ini pun juga tidak bisa ujug-ujug ya saudara-saudara. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, mulai dari usia, dsb. Jadi jangan berharap bisa begini : anak saya kan lulus SD tahun ini dan langsung lanjut SMP HS trus  1 atau mungkin 1,5 tahun lagi mau ikut ujian kejar paket B (setara SMP) supaya bisa masuk SMA atau kuliah di usia yg sangat dini. Hmmmm tidak semudah itu Ferguso.  Kalau Ferguso penasaran, silahkan tanya-tanya dulu ke PKBM terdekat atau ke teman2 HSer. wkwkwkw

Untuk HS sendiri, dari info-info yang saya baca, ada beberapa jalan yang diambil oleh para ortu
  • HS Mandiri : dilakukan dengan belajar sendiri dengan panduan ortu. Ortu mencari sendiri info tentang kurikulum. Ortu mencarikan program-program pelatihan jika memang diperlukan. Ortu mencarikan guru pendamping untuk beberapa mata pelajaran yg tidak dapat diajarkan sendiri oleh ortu. Dan untuk anak yang sudah menginjak remaja, kegiatan belajarnya bisa dilakukan sendiri tanpa didampingi. Ortu hanya ikut mengawal saja. (hey, jaman sekarang juga sudah banyak kok bimbel online hahahaha)
  • HS Komunitas: mengumpulkan beberapa siswa HS dan lalu meng-hire guru 
  • Gabungan mandiri dan Komunitas: biasanya, anak-anak belajar sendiri di rumah masing-masing entah bersama ortunya, sendiri, atau panggil guru, dan sesekali mereka bertemu untuk kegiatan bersama seperti praktikum, belajar memasak, membuat film, latihan upacara, kelas seni dll (tergantung kreatifitas ortu dalam komunitas tersebut). Pengajarnya pun bisa oleh ortu atau meng hire orang yang dianggap bisa memfasilitasi kegiatan yang diinginkan tersebut.  
  • HS Lembaga: mendaftarkan anak ke suatu lembaga yang mengatasnamakan Homeschooling dan anak menjadi siswa dari HS tersebut sesuai dengan jenjangnya. Bedanya apa dengan sekolah formal? HS ini belajarnya tidak full seminggu karena yang diajarkan hanya mata pelajaran yang diujiankan saja. Contohnya adalah HS Kak Seto
  • HS dewe mbayar dewe: hehehehe ini saya ngga tau ya apa istilahnya. Pokoknya sekolah di rumah tapi gurunya full dari luar. Kita ambil saja contohnya yaitu Nia Ramadhani saat dia masih remaja hihihihihi. 
  • ****update 23 Juni 2020===>  seiring waktu sering dengerin obrolan mamak mamak HSer, kini terbuka lagi wawasan lain mengenai istilah unschooling, homesschooling, flexischooling, dll. Tidak ada definisi yang baku, dan bahkan ada yg melakukan unschooling tapi tetap pakai ijazah. Intinya sih, tidak perlu meributkan istilah.

Jadi, Mimi Ayu mau pakai HS yang mana buat anak-anaknya nanti SMP? hehehehe, kalau ditanya sekarang, jawabnya : HS Mandiri. Anaknya belajar sendiri pakai buku pelajaran SMP umum, kalau  ada yang ngga tau, tanya mimi kalau mimi sudah ada di rumah. Btw, sampai saat ini, saya tidak mengijinkan anak-anak googling, main medsos  dan berinternet bebas tanpa ada saya di sampingnya, dan apakah ini akan berlaku nanti saat mereka SMP?hmmm belum tau. Dan untuk ikut kegiatan komunitas sepertinya belum bisa karena keterbatasan waktu mimi kerja kacuali kalau weekend. 
Lho, bu Ayu ngga takut anaknya kuper dan ngga bisa sosialisasi? ..Ah kalau saya bisa balik pertanyaannya : apakah anak yang sekolah di sekolah formal juga pasti bisa bersosialisasi?khususnya bersosialisasi yang baik dan sesuai adab?belum tentu kan? ye kan? wkwkwkwk...bagi saya ada yang lebih penting dari sekedar sosialisasi, dan sama halnya belajar Matemarika dll, belajar  bersosialisasi pun tidak harus melalui lembaga sekolah. Eh btw, untuk tau alasan saya kenapa pingin HS, ada di tulisan ini ya. Terimakasih sudah bersedia mampir blog ini. 

Btw,emang jadi HS ya? kalau ditanya saat ini jawabannya adalah iya. Mumpung masih ada waktu setahun lagi, dan saya pun masih ada waktu persiapan diri menjadi ortu HS dengan segala keterbatasan ini. Seandainya nanti pun jadinya masuk sekolah formal atau mungkin pesantren, tentu saja itu juga keputusan yang kami buat dengan telah melalui penjajakan dari berbagai pilihan jalur pendidikan, bukan sekedar ikut-ikutan tren atau sekedar follow orang pada umumnya.

Kamis, 21 November 2019

-Ayu-


2 komentar:

  1. Tulisannya bagus bgt mb ayu..two tumbs up 👍🏻👍🏻walaupun kita tidak satu pemikiran☺..paparan pendapat dengan runutan logis tanpa harus menggurui

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih dilla ku sayang. Sukses buat Nabilla.

      Hapus